Senin, 20 April 2009

Jangan abaikan Orentation Program


Selama ini orientation program kerap diabaikan ketika kita menghire karyawan. Padahal, tanpa kita disadari orientation program merupakan faktor kunci untuk membuat karyawan cepat engage dengan organisasi yang berujung ke kesuksesan organisasi dalam jangka panjang.
Itulah kesimpulan yang dapat ditarik dari sebuah hasil studi yang dilakukan oleh Watson Wyatt Worldwide, perusahaan global yang bergerak di bidang jasa konsultasi, dan dilansir awal tahun 2007 lalu. Menurut pakar organizational effectiveness Wattson Wyatt, Ilene Gochman, seringkali perusahaan tidak memandang proses hiring dan orientation program sebagai kesempatan utama untuk memperkuat corporate goals dan memotivasi karyawannya.
“Untuk performa jangka panjang perusahaan, beberapa hal kecil sebenarnya lebih penting ketimbang kita harus memilih karyawan yang benar dan memastikan mereka dipandang layak. Oleh karena itu, pengusaha harusnya melihat proses rekrutmen dan orientation program sebagai sebuah kesempatan, bukan beban. Menyiapkan karyawan untuk menjalani peran baru mereka dan berkomunikasi tentang bagaimana mereka dapat menolong perusahaan untuk mencapai goalnya dapat menjadi awal untuk mencapai kesuksesan”, urai Gochman.
Dalam review hasil studi yang dilakukan terhadap praktisi human resources di 50 eprusahaan besar di Amerika Serikat, Watson Wyatt secara perbedaan yang signifikan financial performance dan employee engagement antara perusahaan yang fokus dalam detail pelaksanaan hiring, orientation program dan perusahaan yang mengabaikannya.
Sebagai contoh, 65% perusahaan yang karyawannya memiliki tingkat engagement yang tinggi ternyata menyediakan training untuk para manajernya dan menghabiskan waktu lebih lama untuk training dan menyiapkan pekerjanya sebelum menjalani pekerjaan barunya-rata-rata 35 minggu. Sedangkan 33% perusahaan yang karyawannya memiliki tingkat engagement yang rendah tidak melakukan training untuk para manajer seperti disebut di atas dan hanya menghabiskan waktu 15 minggu dalam menyiapkan pekerjaannya.
Studi lain yang dilakukan Watson Wyatt juga menunjukkan bahwa dalam membangun engagement di kalangan karyawan dan menetapkan proses rekrutmen yang efisien ternyata memiliki kaitan erat dengan financial performance. Dalam survey yang melibatkan 12.000 pekerja Amerika Serikat dari semua level dan sektor tersebut menunjukkan financial performance dari organisasi terkait dengan employee engagement.
“Mengimplementasikan proses rekrutmen dengan tepat guna dan orientation program pada umumnya sangat efektif dari segi biaya. Dan tidaklah terlalu sulit untuk membuat perubahan di area ini. Kebutuhan utamanya fokus dalam meningkatkan komunikasi, baik dari manajer yang meng-hire dan juga para karyawan baru tersebut”, tambah Gochman.
Teknik yang sederhana namun penting dalam men-drive worker engagement adalah dengan menjelaskan kepada mereka kenapa kita mempekerjakan mereka. “Sharing dengan karyawan baru merupakan cara yang mudah dan berarti dalam memulai hubungan yang produktif. Ini dapat memberikan keterikatan antara karyawan baru dan perusahaan serta memberikan pemahaman tentang bagaimana skill mereka dapat digunakan untuk menunjang produktivitas”, lanjutnya.
Orientasi: Sebuah Program yang EfektifDalam konteks sebagai sebuah proses sosialisasi yang luas, orientation program sebenarnya merupakan program pelatihan yang dilakukan ketika pekerja memulai melakukan pekerjaannya yang di tempat yang baru. Tujuan dilakukan orientation program adalah menyiapkan para pekerja agar bisa menjalankan pekerjaannya dengan efektif dan mempelajari bagaimana work relationship yang terjadi di organisasi tersebut. Sebuah orientation program yang sukses adalah yang dapat membantu mengurangi dampak akibat amsuknya hal-hal yang mungkin terjadi akibat masuknya para karyawan baru dan juga yang dapat memfasilistasi proses sosialisasi.
Menurut survey yang dilansir Society for Human Resources Magazine (SHRM) tahun 2006, dari 83% perusahaan melaporkan tentang bagaimana mereka menjalankan sebuah orientation program bagi karyawan, format yang paling banyak digunakan adalah melalui group-based dan individual session. Sedangkan 11% perusahaan menggunakan format computer-based dalam menjalankan orientation program mereka.
Selain orientation program, kita juga mengenal istilah onboarding program, yaitu proses orientasi yang ditujukan untuk para manajer baru. Sama halnya dengan orientation, onboarding program juga merupakan proses yang melibatkan manajer-manajer baru untuk memperkenalkan mereka ke dalam pekerjaan dimana mereka akan melakukan kegiatan supervising, disamping membantu memberikan pemahaman terhadap budaya perusahaan dan operasionalisasi yang terjadi disana. Di bandingkan tahun 2004, 34% HR professional mengindikasikan bahwa invesatsi yang mereka tanam pada tahun 2005 meningkat.
Seringkali sebuah onboarding atau orientation program melibatkan informasi yang faktual menyangkut gaji dan benefit, meninjau aturan dan kebijakan perusahaan, dan bagaimana menyelesaikan paperwork. Selain itu hal lain yang biasa masuk ke dalam program tersebut adalah mempresentasikan buku pedoman karyawan kepada pendatang baru dan melakukan tur singkat ke seluruh kantor.
Sementara prosedur-prosedur ini penting dengan maksud memberikan pengetahuan dasar mengenai organisasi, sebuah onboarding program yang efektif harus secara aktif melibatkan karyawan baru dan mendorong mereka untuk bertanya. Tiap individu yang terlibat memiliki peran masing-masing dalam onboarding process. Karena seorang manajer dan rekan yang baik tentunya dapat membantu pendatang baru mempelajari pekerjaan mereka. Akhirnya, kondisi dan kualitas hubungan antara karyawan dengan manajer mereka dapat membantu proses sosialisasi secara signifikan.
Ketika merencanakan detail mengenai orientation program, praktisi HR hendaknya terlebih dahulu men-set objektif dari program tersebut. SHRM mencontohkan Corning Inc., sebuah perusahaan raksasa yang mempunyai beberapa objektif untuk meningkatkan produktifitas. Hal itu bertujuan untuk mengurangi turnover karyawan dalam tiga tahun pertama masa kerja mereka dan memperpendek ‘learning curve’ karyawan-karyawan baru sebesar 17%.
Program itu juga didesain untuk membantu perkembangan pemahaman secara seragam dari karyawan mengenai perusahaan dan bagaimana membangun sikap positif dalam perusahaan. Ketika hal ini dilaksanakan, turnover para pendatang baru menurun sampai 69% setelah dua tahun. Contoh yang terjadi di Corning menggambarkan kepada kita bahwa men-setting objectives untuk memfokuskan dalam mewujudkan goals perusahaan dapat dikembangkan melalui orientation program yang berhasil.

Apakah Rekruitment Berasarkan IPK masih Efektif

Seorang Vice President di sebuah bank asing sempat berkomentar, “Untung dulu saya melamar ke perusahaan ini. Awalnya saya hampir mencoba bekerja di bank lokal, namun niat tersebut saya urungkan, setelah melihat standart IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimum yang diminta”.
Komentar diatas akhir-akhir ini kembali banyak terlontar. Seberapa relevan sebenarnya, IPK dijadikan dasar dalam merekrut seseorang? Seperti kasus diatas, yang bersangkutan sebelumnya mengecap kuliah di universitas lokal. Berbekal hasil yang kurang bagus, dia kemudian melanjutkan sekolah di Australia. Disana pun dia tidak termasuk murid unggulan dan lulus dengan grade yang secukupnya. Setelah kembali ke Indonesia, justru dia lebih percaya diri menjajal perusahaan asing, yang menurutnya menghargai lebih pada kemampuannya berbahasa asing. Namun setelah bergabung, justru dia merasa mendapat kesempatan besar untuk belajar serta berkembang hingga mencapai kesuksesan sekarang.
“Kebayang kalau dulu Bill Gates dan Quentin Tarantino harus lulus dan dapat IPK tinggi, mungkin belum tentu ada Microsoft atau film bermutu dari mereka”, lanjutnya.
Kompleksitas IPKKita semua tahu, bahwa IPK, terutama di Indonesia, tidak secara langsung berkaitan dengan kesuksesan seseorang dalam bekerja di masa mendatang. Tidak jarang pekerja yang dulunya mahasiswa teladan, saat bekerja kurang sukses. Secara lebih ekstrim, seperti yang diungkap diatas, ada pula cerita legenda Bill Gates, Quentin Tarantino dan Dave Thomas, yang dulu merupakan mahasiswa dropout, namun saat ini terbukti kecerdasannya dan telah menjadi salah satu dari bilioner terkenal di dunia.
Tentunya perumpanan diatas tidak dapat di teirma begitu saja, sebab kenyataannya di Indonesia dan juga negara lain, IPK tetap dijadikan tolak ukur seleksi. Salah satu alasan yang dikemukakan para tim rekrutmen adalah karena IPK paling tidak menjadi ukuran komitmen seseorang dalam menjalankan tugas belajarnya. Sehingga diharapkan, dedikasi tersebut dapat terulang kembali saat yang bersangkutan bekerja dalam perusahaan.
IPK sendiri sering disebut menyesatkan. Standarisasi terhadap ketidakstandarisasian perguruan tinggi merupakan salah satu contoh pelik. Sampai saat ini, masih ada rasa ketidakyakinan bahwa nilai 3 (skala 4), dari sebuah perguruan negeri terkemuka akan sama dengan angka yang berasal dari perguruan tinggi lainnya, meskipun berasal dari fakultas yang sama. Masih banyak isu bahwa beberapa universitas berusaha menabur angka tinggi mahasiswanya, untuk mendongkrak popularitas. Toh ternyata hal ini tidak dapat menipu, karena saat bekerja, kualitas sebenarnya dari orang itu akan terlihat.
Selain itu, IPK sudah terlanjur dianggap sebagai perwakilan dari Intelligence Quotient atau IQ. Tentu ini sangat menyesatkan, karena IPK dapat berasal dari banyak hal dan tidak secara langsung mencerminkan kecerdasan anak. Bahkan IPK dapat pula menjadi pilihan, dimana mahasiswa yang sebenarnya cerdas, memilih untuk tidak menggunakan kemampuan secara maksimal dalam mencapai nilai tertinggi di perguruan tinggi. Belum lagi kemudian ditemukan kalau Emotional Quotient atau EQ lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja.
Lalu bagaimana, apakah selanjutnya IPK harus dikeluarkan dari salah satu persyaratan dalam proses rekrutmen dan seleksi?
Tampaknya di lapangan tidak semudah itu. Para recruiter menyatakan bahwa IPK tetap diperlukan. Paling tidak sebagai salah satu cara untuk melakukan pra-seleksi, terutama saat jumlah pelamar mencapai puluhan atau bahkan ratusan. Sehingga proses menjadi lebih fokus.
Penerapan yang bijaksanaRecruiter masih menganggap kalaupun tidak benar 100%, IPK masih mampu paling tidak menggambarkan 80% dari nilai yang didapat. Di luar itu, recruiter mengandalkan data hasil psikotes serta wawancara mendalam untuk mendapat profile sebenarnya dari kandidat. Paling tidak, ada satu hal yang bisa langsung dihubungkan dari IPK, yaitu motivasi, sebab seperti diungkapkan diatas, bisa dianggap lulusan dengan IPK tinggi telah berusaha untuk pencapaiannya itu.
Kondisi berbeda akan didapat, jika kandidat berasal dari perguruan tinggi yang langsung berhubungan dengan kebutuhan perusahaan. Misalnya, perusahaan telekomunikasi, akan dengan lebih tenang mengambil mahasiswa lulusan IPK tinggi dari sekolah tinggi telekomunikasi. Disini IPK merupakan pencerminan dari hard skill dan sekolah tersebut memberikan bekal dimana yang dapat diterapkan secara langsung oleh mahasiswa tersebut sejak hari pertama mulai bekerja.
Akhirnya semua akan tergantung pada kebijakan recruiter masing-masing perusahaan. Beberapa diantaranya menerapkan batasan untuk hanya menyeleksi mahasiswa lulusan universitas tertentu. Tetap ada yang meleset, tapi paling tidak mereka bisa berharap 70% hasilnya akan sama.
Sekali lagi, tetap ada ruang untuk mahasiswa lulusan baru dengan IPK tidak mencukupi standart yang diminta, untuk lewat lobang jarum seleksi. Beberapa nilai tambah, seperti kasus diatas, keunggulannya adalah kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. Selain itu, aktifitas bermanfaat saat kuliah serta kondisi lainnya yang di dapat dari wawancara akan membantu recruiter untuk tidak kehilangan kandidat yang berpotensi hanya gara-gara IPK.

Dicari : Guru Pembangun Karakter

Guru berperan penting dalam membentuk SDM berkualitas. Tetapi, siapakah yang layak menjadi guru? Bagaimana mendapatkan guru yang andal?
Setiap orang mungkin punya kesan tersendiri terhadap kehadiran seorang guru. Entah itu kesan positif maupun negatif. Percaya atau tidak, apa yang kita terima dari bangku sekolah memberi dampak signifikan terhadap perkembangan seseorang. Salah satu faktornya adalah cara mengajar guru di kelas. Tak mengherankan bila guru yang kreatif menjadi incaran banyak sekolah saat ini. Di tangan guru seperti inilah anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter dan mampu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.
Menyadari hal tersebut, Sampoerna Foundation Teacher Institute (SFTI) membuka pelatihan untuk guru-guru yang ingin lebih berkembang. Seperti disampaikan Kenneth J Cock, Direktur SFTI, di ruang kerjanya Rabu, 18 Juni lalu, SFTI memfasilitasi guru di Indonesia untuk mendapatkan pelatihan dan mempersiapkan mereka dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengajar. “Kami ingin berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,” ungkap Kenneth yang akrab disapa Ken membuka perbincangan. Untuk mencapai tujuan itu, lanjutnya, SFTI berupaya membangun pendidik yang profesional dan mampu menyajikan materi pengajaran yang dapat mencuri perhatian anak, berpikir keluar dari pakem yang membelenggu kreativitas serta mampu menciptakan lingkungan belajar-mengajar yang interaktif.
Bila guru yang kreatif menjadi syarat mutlak dalam pendidikan, apa yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam proses rekrutmen? Menurut Sumar Hendayana, Ph.D, Dekan FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, setidaknya ada empat hal penting yang harus dikedepankan dalam menilai seorang calon guru, meliputi: pola pikir, wawasan, kepribadian, dan rekam jejaknya. “Untuk level TK, SD, dan SMP lebih menitikberatkan kepada keteladanan. Jadi, kepribadian guru menjadi pertimbangan penting,” kata Sumar. Di samping itu, “Hal-hal pribadi sang guru turut menentukan level anak didiknya,” ia menambahkan.
Untuk level yang lebih tinggi, selain kepribadian dibutuhkan pula wawasan yang luas. “Kita bisa mengetahuinya lewat wawancara,” ujar Sumar. “Kemampuan ICT (Information, Communication, Technology-red) dan bahasa Inggris ikut menjadi penilaian di level yang lebih tinggi,” katanya tegas. Di luar itu, kemampuan akademik -- dalam arti indeks prestasi kumulatif (IPK) yang bagus -- bisa menjadi salah satu pertimbangan tetapi bukan segalanya. “Yang penting adalah keterampilan berkomunikasi, empati dan logika yang seimbang,” tutur alumni Ph.D Clarkson University, USA ini menandaskan.
Ken menambahkan, untuk menjadi guru juga dibutuhkan passion yang tinggi. Hal ini diamini pula oleh Sumar. “Passion bisa diketahui dari jawaban calon guru dalam menjawab pertanyaan tentang pendidikan,” ungkapnya. Bagi Sumar dan Ken, mendidik anak adalah membangun karakter. Jika dalam jawaban calon guru tidak mencerminkan hal ini, mereka berpendapat, belum bisa diharapkan menjadi guru. “Tidak cukup hanya dengan modal cinta. Mendidik anak adalah menginginkan mereka tumbuh dan berkembang menuju potensi optimalnya. Untuk itu, seorang guru harus mencintai mengajar. Mengajar adalah masalah komunikasi, jadi harus terampil berkomunikasi,” tutur Ken memaparkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia sebenarnya sudah mempunyai undang-undang pendidikan nasional yang, di mata Sumar, sangat bagus kandungannya. Namun demikian, ia menilai, UU No.20/2003/SISDIKNAS hanya sekadar simbol. “Sepengetahuan saya banyak guru yang tidak tahu isi UU pendidikan. Itu yang mengajar di kota, apalagi yang di pelosok?,” ungkapnya ragu. “Padahal isinya bagus sekali. Tujuan pendidikan nasional kita adalah mengembangkan potensi anak, berakhlak mulia, cakap, dan lain-lain,” katanya menyayangkan. Berdasarkan pijakan tersebut, seorang guru seharusnya bisa membangun paradigma bahwa mendidik adalah membangun karakter. Maka, dengan sendirinya guru akan termotivasi untuk mencari sendiri informasi dan menambah wawasannya.
Sementara itu, institusi di mana guru tersebut mengabdi ikut berperan dalam pembinaan secara berkesinambungan baik dari segi informasi, komunikasi maupun teknologi. “Tanpa pembinaan, profesionalitas guru akan menurun. Dan, tanpa pembinaan kita tidak bisa mengharapkan guru menjadi seperti yang kita harapkan,” Sumar menjelaskan.
Lantas, bagaimana mendapatkan orang yang tepat sebagai praktisi pendidikan? Ken menjelaskan, SFTI melakukan banyak hal dalam mencari guru yang akan dilatih. “Kami mencari seseorang yang memiliki gairah untuk menjadi guru,” kata kelahiran Adelaide, 4 September 1944 ini. Dalam merekrut calon guru yang akan dilatih, SFTI seringkali mencarinya sendiri. “Kadang mereka datang kepada kami. Di kesempatan lain, kami pergi ke beberapa kabupaten menemui Kepala Dinasnya dan menawarkan program-program kami untuk meningkatkan kualitas guru-guru di daerahnya,” Ken menjabarkan.
Sedangkan di UPI, Bandung, Sumar mengaku bahwa model pembinaan yang dilakukan para dosen adalah melalui studi langsung di lapangan. “Kami ajak para dosen ke lapangan (kelas-red) minimal seminggu dua kali dalam dua tahun terakhir ini,” katanya. “Tujuannya adalah, agar para dosen mengerti kendala atau kesulitan yang dialami oleh guru di kelas,” Sumar memberi alasan. Dengan mengerti kondisi sekolah, kelas, guru maupun murid, dia berharap dosen akan mampu menerjemahkan dan menggali solusi untuk disampaikan kepada mahasiswanya yang calon guru. “Bagaimana mungkin kita membangun pendidikan yang berkualitas di Indonesia jika kita sendiri tidak tahu kebutuhan kita?,” ujar Sumar balik bertanya.
Sumar dan Ken berpendapat sama bahwa cikal bakal guru yang berkualitas ditentukan oleh institusinya sendiri. “Jika kita membuat sebuah sekolah, pikirkan lagi apa visi dan misi kita. Sebab, ini akan menentukan guru yang direkrut,” kata Sumar. Di lain pihak, Ken menambahkan, “Yang penting adalah, kita harus membuat para guru berpikir beda tentang pekerjaan mereka dan mau membangun paradigma baru tentang pendidikan yang baik.

MENUMBUHKAN DAN MEMPERTAHANKAN KREATIVITAS DI TEMPAT KERJA


Kreativitas dapat dipelajari dan ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan penciptaan suasana yang kondusif di lingkungan kerja. Caranya?
Gelombang PHK dengan alasan efisiensi kini melanda dunia, tidak hanya di Indonesia. Perusahaan otomotif tertua di dunia, General Motor (GM), misalnya, melakukan PHK terhadap 25.000 pekerjanya di Amerika Serikat hingga tahun 2008. Di sisi lain, Toyota Motor malah merencanakan membuka satu pabrik baru setiap tahun serta menyerap sekitar 2.500 pekerja untuk mengisi pabrik-pabrik tersebut.Apa yang menyebabkan kegagalan GM dan, sebaliknya, keberhasilan Toyota Motor? Jawabannya tak lain adalah “inovasi tiada henti”. Secara tegas Toyota membangun budaya kreatif dan menerapkan motto: “Inovasi atau Mati”. Maka, tak heran bila perusahaan asal Jepang ini makin merajalela menguasai industri otomotif dunia.Dalam pandangan Managing Partner HR Excellency Anthony Dio Martin, inovasi memiliki daya penetrasi ke semua lini proses di perusahaan. “Seperti dalam hal perancangan layout ruang kerja, proses desain Standard Operating Procedure (SOP), pengambilan keputusan harian, hingga pencetusan ide produk, semuanya dilandasi dengan berpikir kreatif,” katanya mencontohkan.Jika demikian, kreativitas adalah sesuatu yang sangat luas penerapannya. Secara sederhana, J.S. Bruner mendefinisikan kreativitas dalam bukunya Toward a Theory of Instruction sebagai “kejutan yang efektif”, di mana hasilnya adalah sesuatu (bisa produk atau gagasan) yang mengejutkan. Misalnya, karena baru, belum pernah ada, belum pernah terpikirkan, dan unik.Sementara Newel, Shaw, dan Simon dalam penelitian ilmiah yang berjudul The Process of Creative Thinking mendefinisikan kreativitas sebagai salah satu dari tiga unsur, yaitu melihat dengan sudut pandang (perspektif) yang baru, menemukan hubungan baru, membentuk kombinasi baru dari objek, konsep, atau fenomena.Apapun definisinya, Arman Hakin Nasution dalam bukunya Creative Thinking, How to Get Success in Your Future Career menyimpulkan, kreativitas adalah kemampuan untuk mencapai kekuatan menarik sebuah ide dari diri Anda melalui tahapan awal berupa pengamatan terhadap kondisi sekeliling.Anthony berpendapat, kreativitas di perusahaan lebih berorientasi kepada pengambilan keputusan kreatif untuk menghadapi berbagai tantangan organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Karena itu ia menyarankan setiap karyawan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan kreatif baik secara individu maupun kolektif, yang akhirnya berujung pada inovasi. “Sebuah ide harus berakhir dengan implementasi. Proses berpikir kreatif bisa ditumbuhkan dan diintegrasikan dalam budaya perusahaan,” ujarnya yakin.Untuk menumbuhkan kreativitas dalam diri karyawan, Anthony memaparkan, pendekatan sekali tembak melalui pelatihan, training, atau seminar saja tidak cukup. Paling tidak dibutuhkan tiga elemen penting, yakni fondasi, proses, dan reward.Dijelaskannya, hal mendasar yang dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang kreatif adalah dukungan dari top management. “Tanpa dukungan leadership, kreativitas hanya tumbuh secara sporadis. Bisa jadi, kreativitas karyawan akan dianggap sebagai ancaman atau kekonyolan,” ujarnya seraya menambahkan, akan lebih bagus bila inovasi menjadi bagian dari visi-misi perusahaan. ”Inilah yang akan menumbuhkan kreativitas SDM di perusahaan,” katanya.Sementara itu, yang dimaksud proses oleh Anthony adalah aktivitas berkelanjutan yang diarahkan bagi pertumbuhan dan pelestarian kreativitas. Manifestasinya bisa beragam, mulai dari pelatihan kreativitas internal/eksternal, pengambilan keputusan dengan cara-cara kreatif (misalnya brainstorming dalam meeting), pengadaan kotak ide bagi karyawan, majalah dinding, dan lingkungan yang inovatif.Sedangkan reward adalah hal penting dalam pembentukan budaya kreatif atau bisa disebut penguatan (reinforcement). Menurutnya, SDM kreatif di perusahaan sudah selayaknya diberi insentif namun tidak melulu berupa uang. “Ini bisa menjadi cara ampuh untuk mengabarkan ke seluruh perusahaan bahwa menjadi kreatif adalah bagian dari Key Performance Indicator (KPI) yang menentukan penilaian kinerja,” ungkapnya.Jika semua elemen itu bisa diwujudkan, sebuah perusahaan boleh dibilang mumpuni dalam menumbuhkan dan melanggengkan kreativitas karyawan. “Kata kuncinya adalah “kesinambungan”, sehingga kreativitas bukan semata-mata acara kagetan di perusahaan, melainkan terintegrasi dalam budaya perusahaan,” tutur Anthony.Pakar kreativitas dan inovasi, Dennis Sherwood, merangkum dalam bukunya Smart Things to Know About Innovation & Creativity beberapa ciri lingkungan perusahaan yang konvensional dan inovasional (Lihat tabel 1 dan 2). “Menciptakan lingkungan perusahaan yang inovasional merupakan satu proses yang harus didukung oleh aspek fondasi dan reward,” ujar Anthony menegaskan.Sementara itu, founder FMC --lembaga nirlaba-- Hendrik Lim menyatakan, kreativitas dapat ditumbuhkan dalam diri setiap orang. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mau atau tidak? Kalau orang itu tidak kreatif, ia akan menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Sementara orang kreatif berpikir tentang sesuatu yang orang lain tidak pikirkan, tidak mampu, tapi justru dibutuhkan.Hendrik menilai, berpikir kreatif bukan sekadar pintar secara intelektual tetapi harus dibarengi kecerdasan empatik. Kita tentu sering melihat air mineral yang dikemas dalam kemasan botol kecil. Menurut Hendrik, itu merupakan salah satu contoh di mana ada seseorang yang berpikir tentang orang lain. “Bila sedang bepergian jauh, kita ingin membawa sesuatu yang praktis untuk dibawa,” ujarnya.Hendrik berpendapat, pemikiran seperti itu tidak muncul secara tiba-tiba. “Butuh kemauan kuat untuk berpikir dan mengamati apa yang orang butuhkan. Itu semua butuh perhitungan yang jelas, baru bertindak. Ibarat menjual kaos, kita harus melihat marketnya, baru membuat dalam jumlah banyak sesuai jumlah peminat,” katanya.Yang menjadi masalah, lanjutnya, seringkali kita merasa sulit atau mandek dalam mencari ide-ide atau gagasan kreatif. Bahkan, untuk mendapatkan sebuah ide saja, rasanya otak ini sudah buntu. Apakah itu berarti bahwa kita tidak kreatif? “Memang, lingkungan sangat penting untuk membentuk atmosfer yang mendukung kreativitas, entah untuk urusan pekerjaan maupun kesenangan,” tutur Hendrik mengakui. Di luar itu, ia menambahkan, untuk menjadi kreatif seseorang harus memiliki kemampuan untuk fokus pada pekerjaan serta tidak takut pada penolakan dan kritik.Iklim kompetisi juga perlu diajarkan pada setiap individu di korporasi. Mengapa? Hendrik yakin kompetisi dapat menumbuhkan kreativitas seseorang. Misalnya, sistem bonus yang diberikan kepada setiap individu yang mengerjakan tugasnya lebih baik dari yang lain. Dengan begitu, SDM lain pun akan terpacu untuk mengerjakan tugas-tugasnya lebih baik lagi.Hendrik menegaskan, setiap orang dapat menjadi kreatif asalkan mereka mau. Biasanya, orang kreatif mencintai pekerjaannya. “Jika seseorang tidak menyukai pekerjaannya, kreativitas agak sulit ditumbuhkan,” ungkapnya.

MODEL 7P PADA MANAJEME SDM RUMAH SAKIT

Sumber daya manusia merupakan elemen organisasi yang sangat penting. Sumber daya manusia merupakan pilar utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam upaya mewujudkan visi dan misinya. Karenanya harus dipastikan sumber daya ini dikelola dengan sebaik mungkin agar mampu member kontribusi secara optimal. Maka diperlukanlah sebuah pengelolaan secara sistematis dan terencana agar tujuan yang diinginkan dimasa sekarang dan masa depan bisa tercapai yang sering disebut sebagai manajemen sumber daya manusia. Tujuan manajemen sumberdaya manusia adalah mengelola atau mengembangkan kompetensi personil agar mampu merealisasikan misi organisasi dalam rangka mewujudkan visi.
Rumah sakit merupakan organisasi pelayanan jasa yang mempunyai kespesifikan dalam hal SDM, sarana prasarana dan peralatan yang dipakai. Sering rumah sakit dikatakan sebagai organisasi yang padat modal, padat sumber daya manusia, padat tehnologi dan ilmu pengetahuan serta padat regulasi. Padat modal karena rumah sakit memerlukan investasi yang tinggi untuk memenuhi persyaratan yang ada. Padat sumberdaya manusia karena didalam rumah sakit pasti terdapat berbagai profesi dan jumlah karyawan yang banyak. Padat tehnologi dan ilmu pengetahuan karena di dalam rumah sakit terdapat peralatan-peralatan canggih dan mahal serta kebutuhan berbagai disiplin ilmu yang berkembang dengan cepat. Padat regulasi karena banyak regulasi/peraturan-peraturan yang mengikat berkenaan dengan syarat-syarat pelaksanaan pelayanan di rumah sakit.
Sumber daya manusia yang ada di rumah sakit terdiri dari : 1) Tenaga kesehatan yang meliputi medis (dokter), paramedis(perawat) dan paramedis non keperawatan yaitu apoteker, analis kesehatan, asisten apoteker, ahli gizi, fisioterapis, radiographer, perekam medis. 2) Tenaga non kesehatan yaitu bagian keuangan, administrasi, personalia dll.
Ada sebuah model manajemen SDM yang di kenal yaitu model 7P yang merupakan kependekan dari Perencanaan - Penerimaan - Pengembangan - Pembudayaan - Pendayagunaan - Pemeliharaan - Pensiun yang keseluruhannya menggambarkan siklus kegiatan manajemen SDM mulai dari perencanaan SDM sampai karyawan memasuki masa pensiun.
Penerapan model 7P di rumah sakit meliputi :
1. Perencanaan. Perencanaan merupakan aktivitas proses penetapan apa yang ingin dicapai dan pengorganisasian sumberdaya untuk mencapainya. Perencanaan sumber daya manusia meliputi jenis tenaga yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya yang disesuaikan dengan lingkup pelayanan yang akan dilaksanakan. berapa jumlah dokternya, perawatnya dan tenaga lainnya serta apakah perlu fisioterapis atau tenaga yang lain tergantung lingkup pelayanannya. Lingkup pelayanan ini biasanya ditentukan berdasarkan tipe rumah sakitnya. Lingkup pelayanan rumah rumah sakit (tipe A/B/C/D) mempunyai standar minimal. Misalnya untuk rumah sakit tipe C minimal pelayanan medisnya adalah 4 besar spesialistik yaitu spesialis obsgyn, anak, bedah dan dalam. Dengan adanya ketentuan tersebut maka tentu saja perencanaan SDM di rumah sakit tipe C akan berbeda dengan tipe yang lain.
2. Penerimaan. Penerimaan karyawan merupakan tahap yang sangat kritis dalam manajemen SDM. Bukan saja karena biaya proses penerimaan karyawan sangat mahal tetapi merekrut orang yang tidak tepat ibarat menanam benih yang buruk. Ia akan menghasilkan buah yang dapat merusak tatanan sebuah organisasi secara keseluruhan. Rumah sakit perupakan sebuah organisasi pelayanan jasa yang sifat produknya intangible (tidak bisa dilihat) tetapi bisa dirasakan. Dan pelayanan ini hampir mutlak langsung diberikan oleh karyawan (bukan oleh mesin/atau alat). Sehingga sikap, perilaku dan karakter karyawan sangat mempengaruhi kualitas jasa yang diberikan. Oleh karena itu, proses penerimaan SDM rumah sakit harus memperhatikan sikap, perilaku dan karakter calon karyawan.
3. Pengembangan. Kompetensi SDM tidak terbentuk dengan otomatis. Kompetensi harus dikembangkan secara terencana sesuai dengan pengembangan usaha agar menjadi kekuatan untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Di rumah sakit diperlukan karyawan yang selalu meningkat kompetensinya karena tehnologi, ilmu pengetahuan tentang pelayanan kesehatan berkembang sangat pesat dari waktu kewaktu. Adanya peralatan baru, metode perawatan yang berubah merupakan contoh betapa perlunya pengembangan kompetensi. Kegiatan pengembangan kompetensi ini antara lain pendidikan dan pelatihan, pemagangan di rumah sakit lain, rotasi, mutasi.
4. Pembudayaan. Budaya perusahaan merupakan pondasi bagi organisasi dan pijakan bagi pelaku yang ada didalamnya. Budaya organisasi adalah norma-norma dan nilai-nilai positif yang telah dipilih menjadi pedoman dan ukuran kepatutan perilaku para anggota organisai. Anggota organisasi boleh pintar secara rasional, tetapi kalau tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional dan kebiasaan positif maka intelektual semata akan dapat menimbulkan masalah bagi organisasi. Pembentukan budaya organisasi merupakan salah satu lingkup dalam manajemen SDM.
5. Pendayagunaan. The right person in the right place merupakan salah satu prinsip pendayagunaan. Bagaimana kita menempatkan SDM yang ada pada tempat atau tugas yang sebaik-baiknya sehingga SDM tersebut bisa bekerja secara optimal. Ada SDM yang mudah bergaul, luwes, sabar tetapi tidak telaten dalam hal keadministrasian. Mungkin SDM ini cocok di bagian yang melayani publik daripada bekerja di kantor sebagai administrator. Lingkup pendayagunaan ini adalah mutasi, promosi, rotasi, perluasan tugas dan tanggung jawab.
6. Pemeliharaan. SDM merupakan manusia yang memiliki hak asasi yang dilindungi dengan hukum. Sehingga SDM tidak bisa diperlakukan semaunya oleh perusahaan karena bisa mengancam organisasi bila tidak dikelola dengan baik. SDM perlu dipelihara dengan cara misalnya pemberian gaji sesuai standar, jamisan kesehatan, kepastian masa depan, membangun iklim kerja yang kondusif, memberikan penghargaan atas prestasi dsb.
7. Pensiun. Dengan berjalannya waktu SDM akan memasuki masa pensiun. Rumah sakit harus menghindari kesan ” habis manis sepah dibuang”, dimana ketika karyawannya sudah masa pensiun kemudian di keluarkan begitu saja. Karena itu sepatutnya rumah sakit mempersiapkan karyawannya agar siap memasuki dunia purna waktu dengan keyakinan. Ada banyak hal yang bisa disiapkan yaitu pemberikan tunjangan hari tua yang akan diberikan pada saat karyawan pensiun, pemberikan pelatihan-pelatihan khusus untuk membekali calon purnakarya.

MERANCANG MANAJEMEN SDM BEBASIS KOMPTENSI

Pengembangan pribadi yang bermutu unggul secara sistematis boleh jadi merupakan salah satu strategi yang mesti diusung ketika suatu perusahaan bemimpi menjadi yang terbaik. Dalam kaitannya dengan hal ini, beberapa tahun terakhir ini merebak satu pendekatan baru dalam menata kinerja manusia, yang acap disebut sebagai competency-based HR management (CBHRM), atau manajemen pengelolaan SDM berbasis kompetensi. Dalam pendekatan ini, kosa kata kompetensi menjadi elemen kunci.
Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.
Tahap pertama yang mesti dilakukan ketika suatu perusahaan hendak membangun competency-based HR management adalah menyusun direktori kompetensi serta profil kompetensi per posisi. Dalam proses ini, dirancanglah daftar jenis kompetensi – baik berupa soft dan hard competency – yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi yang rinci, serta juga indikator perilaku dan levelisasi (penjenjangan level) untuk setiap jenis kompetensi. Dalam tahap ini pula disusun semacam kebutuhan kompetensi per posisi, atau semacam daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan untuk satu posisi tertentu, berikut dengan level minimumnya.
Tahap berikutnya merupakan tahap yang paling kritikal, yakni tahap asesmen kompetensi untuk setiap individu karyawan dalam perusahaan itu. Tahap ini wajib dilakukan sebab setelah kita memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi per posisi, maka kita perlu mengetahui dimana level kompetensi para karyawan kita – dan dari sini juga kita bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan saat ini.
Terdapat beragam metode untuk mengevaluasi level kompetensi, dari mulai yang bersifat sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi. Kuesioner ini didesain dengan mengacu pada direktori kompetensi serta indikator perilaku per kompetensi yang telah disusun pada fase sebelumnya.
Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assessment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para evaluator yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan waktu yang cukup panjang (biasanya dua hari) dan biaya serta energi yang relatif besar.
Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dll. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya.
Tahap berikut dari penerapan CBHRM adalah memanfaatkan hasil level asesmen kompetensi yang telah dilakukan untuk diaplikasikan pada setiap fungsi manajemen SDM, mulai dari fungsi rekrutmen, manajemen karir, pelatihan, hingga sistem remunerasi.
Memang, perjalanan penerapan metode CBHRM membutuhkan proses yang panjang nan berliku. Namun, manfaat yang akan diperoleh dari penerapan metode ini niscaya akan membuat sebuah perusahaan bisa makin melesat unggul dibanding para pesaingnya.

Sabtu, 18 April 2009

Analisis Kompetensi SDM melalui Assessment Center:

Faktor penting dalam meraih puncak prestasi fungsi SDM diperusahaan dan unit bisnis adalah tersedianya SDM yang kompeten dibidangnya masing-masing. Untuk keberhasilannya diperlukan beberapa faktor kunci seperti informasi yang akurat mengenai kemampuan sdm di setiap level, informasi mengenai tingkat kemampuan sdm disetiap level organisasi perusahaan dan faktor lainnya adalah prosedur yang handal untuk mendapatkan sdm yang tepat.
Kebutuhan untuk meraih kualitas terbaik terlahirlah metode multiple assesment process. Proses ini memungkinkan evaluasi terstandarisasi terhadap perilaku dengan pendekatan karakteristik khasnya, yakni multiple methods/ instrument, multiple criteria, multiple assessors, dan multiple participants.
Secara praktis pendekatan ini lazim dipahami sebagai suatu proses penilaian (evaluation/rating) yang canggih dan berstandarisasi terhadap kemampuan maupun karakteristik, dan didesain secara khusus untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya penyimpangan penilaian.
Sebuah assessment centre yang efektif akan membuahkan output-output berkualitas dan memenuhi seluruh tuntutan, dengan pelatihan ini memaparkan dengan selengkapnya dan sejelas mungkin bagaiman caranya merancang dan menjalankan assessment centre.

Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Meningkatkan kemampuan SDM yang paling kritis terhadap kesuksesan dalam
pekerjaan.
Membangun dan menginternalisasikan pendekatan assessment centre didalam SDM.
Meningkatkan produktifitas karyawan dan organisasi perusahaan dalam pelaksanaan
kerja.
Mengembangkan kompetensi yang andal dan valid untuk memastikan perolehan SDM
dengan spesifikasi kemampuan dan karakteristik terbaik.

Materi
Assesment Center
Pengertian dan Konsep Dasar Assesment Center
Assessment Center dan Manajemen SDM
Pro dan Kontra Implementasi Assesment Center
Desain Dan Konstruksi:
Manajemen Proyek
Kompetensi: Pengertian dan Konsep Dasar
Model Kompetensi
Kompetensi: Analisis dan Konstruksi Model
Latihan Simulasi: Ragam dan Aplikasinya
Latihan Simulasi: Desain Dan Konstruksi
Seleksi dan pelatihan Assessor
Implementasi:
Persiapan Implementasi
Menghimpun Data
Pengolahan Data
Laporan Hasil Assessment
Pasca- Assessment:
Umpan Balik Hasil Assessment
Langkah Pengembangan

Durasi
Lama Pelatihan adalah 8 jam/ 1 hari

Waktu dan Lokasi
Tanggal 30 April 2009 di Hotel/ Gedung Milik Vendor di Jakarta

Investasi
Rp. 1.350.000/peserta (sudah termasuk Lunch + Coffee Break , Modul dan sertifikat)

Metode Pelatihan
GAME, PERSONAL ASSESSMENT and PRESENTATION
Peserta
Mereka yang memiliki Peran, Fungsi serta Tanggungjawab sebagai Pengambil Keputusan dalam Unit Bisnis dan Department khususnya departemen SDM. Menjadi Kunci dalam Pergerakan Perusahaan, seperti Para Manager, Kepala Bagian (Kabag), dan Kepala Sub Bagian (Kasubag).

Fasilitator
Eko Supriyatno SE, MM.
Beliau adalah lulusan dari PPM Institute dengan konsentrasi pada Manajemen. Saat ini beliau sebagai konsultan yang bergerak dibidang jasa konsultasi manajemen. Selain itu beliau adalah seorang instruktur/trainer/speaker pada berbagai workshop dan training di bidang sumber daya manusia dan pemasaran. Sebelumnya, beliau telah sukses sebagai praktisi, terbukti dari berbagai posisi yang pernah disandangnya. Posisi Assistant Manager di PT Astra International pernah dipegangnya, serta posisi Business Manager di PT Wicaksana Overseas International Tbk. Selain itu beliau pernah bekerja sebagai direktur training LP3I (lembaga pendidikan ternama). Beberapa proyek yang pernah ditanganinya adalah Penyusunan Job Description, Pengembangan dan Desain Organisasi, strategi SDM, Pengembangan Peran Baru SDM di berbagai perusahaan retail, Fast Moving Consumer Good (FMCG), pelayaran dan Penerbangan. Tak diragukan lagi bahwa beliau sangat piawai dalam mengemukakan formulasi-formulasi baru di bidang SDM, Marketing dan Strategi yang bersifat praktis. Beberapa training yang seringkali dibawakan adalah Negotiating skills, Time Management, Marketing Intellegence, Effective Marketing for Your Company, Smart Selling, Managing HR for Beginner, Recruitment Handbook dan lain-lain. Saat ini masih aktif sebagai kolumnis Tabloid Wanita Indonesia.
Susunan Acara
08.30 - 09.00 Pendaftaran dan registrasi peserta
09.00 - 10.30 Materi/ Sesi I : Assesment Center & Desain Dan Konstruksi
10.30 - 10.45 Rehat
10.45 - 12.30 Materi/ Sesi II : Implementasi & Pasca- Assessment
12.30 - 13.30 Rehat - makan siang
13.30 - 15.00 Personal assessment dan presentasi
15.00 - 15.15 Rehat
15.15 - 16.00 Evaluasi presentasi.
16.00 Penutupan acara.

ANALISA KEBUTUHAN TRAINING

Analisa Kebutuhan Training (Training Need Analysis)
Analisa kebutuhan training dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni :
Task Analysis :
Analis yang berfokus pada kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi tertentu. Tugas dan tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan. Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis training semacam apa yang diperlukan.
Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut.
Person Performance Analysis :
Analis yang berfokus pada kinerja orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis training apa saja yang diperlukan untuk orang tersebut.
Mengidentifikasi Kebutuhan Pelatihan dan Pengembangan SDM
Level kompetensi Yang Dimiliki oleh Karyawan Saat ini
Apakah ada kesenjangan kompetensi?
Level kompetensi yang dibutuhkan untuk Posisi tertentu
Identifikasi Level Kompetensi Karyawan
Program Pelatihan dan Pengembangan
Identifikasi Kebutuhan Melalui Observasi Kompetensi
Suatu metode untuk mengukur level kompetensi karyawan melalui pengamatan langsung di lapangan (real and direct observation)
Pengamatan/observasi dilakukan secara sistematis dengan mengacu pada profil kompetensi yang telah ditentukan
Memberikan gambaran yang real dan memiliki akurasi yang relatif tinggi karena merupakan refleksi langsung dari kondisi di lapangan
Prinsip dalam Melakukan Observasi
Observe - Melakukan observasi
Record - Mencatat hasil observasi
Classify - Mengkalisifikasikan hasil observasi
Evaluate - Melakukan evaluasi
Prinsip dalam Melakukan Observasi
Dalam melakukan observasi, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut :
Observasi sebaiknya mengacu pada perilaku (behavior), dan bukan pada sifat pribadi/tabiat (trait).
Observasi perlu difokuskan pada perilaku karena perilaku merupakan sesuatu yang dapat diamati, dapat diukur (diverifikasi) dan juga dapat dilatih (trainable). Sementara, sifat pribadi/tabiat merupakan sesuatu yang bersifat subyektif, sulit diukur dan tidak spesifik.
Observasi juga harus didasarkan pada fakta riil dan bukti-bukti perilaku– dan bukan sekedar impresi atau ‘judgement’ (penilaian) semata.
Contoh
……Berdasar pengamatan saya, sdr. A tidak mampu datang menghadiri
pertemuan dengan tepat waktu. Ia selalu terlambat 15 menit dalam tiga
pertemuan terakhir yang kami lakukan………
(kata-kata miring atau italics dalam contoh ini merujuk pada perilaku dan
bersifat spesifik)
Sdr. A tergolong orang yang malas….
(contoh ini kurang tepat, karena merujuk pada tabiat atau sifat pribadi).
Menunjuk pada perilaku yang spesifik
Sebutkan perilaku spesifik karyawan – apa yang benar-benar telah diucapkan atau dilakukannya. Hindari untuk menghakimi, mengevaluasi atau menggunakan bahasa yang subyektif
Contoh :
………..Sdr. Adi mampu melakukan analisa kerusakan mesin XYZ secara akurat dan menyelesaikan proses perbaikannya dalam waktu kurang dari 1 jam….
(contoh ini merupakan deskripsi perilaku yang spesifik)
..…Sdr. Adi merupakan orang yang cekatan
(contoh ini kurang tepat, karena bersifat evaluatif).
Observasi dan Rating Kompetensi

http://indosdm.com/analisa-kebutuhan-training